Setidaknya tercatat sekitar 15 poin kelemahan RUU Tipikor.
KOALISI Pemantau Peradilan (KPP) menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang disusun pemerintah dapat mengancam upaya pemberantasan korupsi. Koalisi mencatat sedikitnya 15 poin kelemahan RUU tersebut dalam mendorong pemberantasan korupsi. Poin kelemahan itu menyangkut ancaman pidana, masa daluarsa (hapusnya penuntutan), penghapusan tindak pidana, tidak jelasnya pengadilan Tipikor, kewenangan KPK yang hanya sampai tingkat penyidikan, ancaman pidana bagi pelapor palsu dan tidak diaturnya korupsi oleh advokat.
Selain itu tidak diatur pula pembekuan, pengelolaan aset hasil korupsi, potensi aset korupsi yang dikelola masing-masing institusi, pembatalan kontrak akibat korupsi, penyertaan, percobaan dan permufakatan korupsi maupun penyadapan serta kewajiban pelaporan kekayaan. RUU Tipikor versi pemerintah juga tidak mengoptimalisasikan peran serta masyarakat.
Dari hasil diskusi KPP yang dirilis Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Diansyah, tidak mencantumkan pasal ancaman pidana minimal dapat berpotensi terjadinya vonis percobaan bagi koruptor. Koalisi mempersoalkan tindak pidana yang dapat dihapuskan di bawah Rp25 juta. Apabila pelaku menyesal dan mengembalikan dapat tidak dituntut pidana. Koalisi menilai, semua tindak pidana berapa pun nilainya dapat dipidanakan. Pengembalian kerugian negara tidak menghapuskan pidana.
Dalam RUU itu juga muncul ancaman pidana bagi pelapor palsu. Terlapor berpotensi melaporkan balik pelapor. Sementara koalisi mengusulkan agar perlindungan yang diterima pelapor adalah perlindungan identitas dan keamanan. Mengenai korupsi advokat, koalisi mengusulkan tidak sekadar dijerat dengan kode etik. Korupsi advokat dapat dijerat dengan delik korupsi.
Tidak diaturnya pembekuan aset juga berpotensi terjadinya pengalihan rekening dari pelaku ke pihak ketiga. Koalisi mengusulkan agar penyidik, penuntut dan hakim dapat memerintahkan pemblokiran atau pembekuan terhadap rekening tersangka dan atau pihak lain yang diduga terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi.
Dalam RUU tersebut juga tidak diatur pihak-pihak yang membantu pelaku korupsi (bersama atau mufakat) maupun pihak yang mencoba melakukan korupsi tidak dapat dipidana. Padahal, tindakan penyertaan, percobaan, dan permufakatan korupsi dapat dipidana.
Dalam RUU itu, peran serta masyarakat masih terbatas atau copy paste dengan UU Korupsi yang lama. Seharusnya, masyarakat dapat mengajukan upaya hukum gugatan atau praperadilan dan penghargaan untuk pelapor kasus korupsi.
Wajib
MENTERI Hukum dan HAM (Menkumham) Andi Mattalatta mengatakan, perihal isi RUU Tipikor yang dianggap tidak sesuai tersebut masih bisa diubah. "Kalau masyarakat menganggap tidak adil ya dibuang saja pasal-pasal itu," kata Menkumham, saat ditemui usai acara pemberian sertifikat ISO 9001: 2008 kepada Biro Kepegawaian di gedung Departemen Hukum dan HAM (Depkumham) Kuningan.
Menkumham juga menegaskan jika Pengadilan Tipikor harus tetap dipertahankan. "Jelas-jelas MK itu mengatakan kalau pengadilan Tipikor harus menjadi bagian pengadilan umum. Jadi wajib ada," ujarnya.
Berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), menurut Menkumham, UU Pengadilan Tipikor harus berdiri sendiri dan tidak bisa selamanya menumpang UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia juga tidak setuju dengan pihak-pihak yang menyarankan agar UU Pengadilan Tipikor hanya meneruskan UU pengadilan yang sudah ada selama ini.
Oleh karena itu, Menteri berharap agar Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengadilan Tipikor yang sudah diterima oleh DPR RI sejak Oktober tahun lalu, bisa segera diselesaikan. "Idealnya semua UU yang masuk ke DPR selesai sebelum masa jabatannya berakhir," kata Andi Mattalatta.
Menurutnya, pembahasan dan pengesahan yang kian mandek, memberikan kesan jika DPR tidak serius dalam menangani RUU Tipikor.
KOALISI Pemantau Peradilan (KPP) menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang disusun pemerintah dapat mengancam upaya pemberantasan korupsi. Koalisi mencatat sedikitnya 15 poin kelemahan RUU tersebut dalam mendorong pemberantasan korupsi. Poin kelemahan itu menyangkut ancaman pidana, masa daluarsa (hapusnya penuntutan), penghapusan tindak pidana, tidak jelasnya pengadilan Tipikor, kewenangan KPK yang hanya sampai tingkat penyidikan, ancaman pidana bagi pelapor palsu dan tidak diaturnya korupsi oleh advokat.
Selain itu tidak diatur pula pembekuan, pengelolaan aset hasil korupsi, potensi aset korupsi yang dikelola masing-masing institusi, pembatalan kontrak akibat korupsi, penyertaan, percobaan dan permufakatan korupsi maupun penyadapan serta kewajiban pelaporan kekayaan. RUU Tipikor versi pemerintah juga tidak mengoptimalisasikan peran serta masyarakat.
Dari hasil diskusi KPP yang dirilis Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Diansyah, tidak mencantumkan pasal ancaman pidana minimal dapat berpotensi terjadinya vonis percobaan bagi koruptor. Koalisi mempersoalkan tindak pidana yang dapat dihapuskan di bawah Rp25 juta. Apabila pelaku menyesal dan mengembalikan dapat tidak dituntut pidana. Koalisi menilai, semua tindak pidana berapa pun nilainya dapat dipidanakan. Pengembalian kerugian negara tidak menghapuskan pidana.
Dalam RUU itu juga muncul ancaman pidana bagi pelapor palsu. Terlapor berpotensi melaporkan balik pelapor. Sementara koalisi mengusulkan agar perlindungan yang diterima pelapor adalah perlindungan identitas dan keamanan. Mengenai korupsi advokat, koalisi mengusulkan tidak sekadar dijerat dengan kode etik. Korupsi advokat dapat dijerat dengan delik korupsi.
Tidak diaturnya pembekuan aset juga berpotensi terjadinya pengalihan rekening dari pelaku ke pihak ketiga. Koalisi mengusulkan agar penyidik, penuntut dan hakim dapat memerintahkan pemblokiran atau pembekuan terhadap rekening tersangka dan atau pihak lain yang diduga terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi.
Dalam RUU tersebut juga tidak diatur pihak-pihak yang membantu pelaku korupsi (bersama atau mufakat) maupun pihak yang mencoba melakukan korupsi tidak dapat dipidana. Padahal, tindakan penyertaan, percobaan, dan permufakatan korupsi dapat dipidana.
Dalam RUU itu, peran serta masyarakat masih terbatas atau copy paste dengan UU Korupsi yang lama. Seharusnya, masyarakat dapat mengajukan upaya hukum gugatan atau praperadilan dan penghargaan untuk pelapor kasus korupsi.
Wajib
MENTERI Hukum dan HAM (Menkumham) Andi Mattalatta mengatakan, perihal isi RUU Tipikor yang dianggap tidak sesuai tersebut masih bisa diubah. "Kalau masyarakat menganggap tidak adil ya dibuang saja pasal-pasal itu," kata Menkumham, saat ditemui usai acara pemberian sertifikat ISO 9001: 2008 kepada Biro Kepegawaian di gedung Departemen Hukum dan HAM (Depkumham) Kuningan.
Menkumham juga menegaskan jika Pengadilan Tipikor harus tetap dipertahankan. "Jelas-jelas MK itu mengatakan kalau pengadilan Tipikor harus menjadi bagian pengadilan umum. Jadi wajib ada," ujarnya.
Berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), menurut Menkumham, UU Pengadilan Tipikor harus berdiri sendiri dan tidak bisa selamanya menumpang UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia juga tidak setuju dengan pihak-pihak yang menyarankan agar UU Pengadilan Tipikor hanya meneruskan UU pengadilan yang sudah ada selama ini.
Oleh karena itu, Menteri berharap agar Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengadilan Tipikor yang sudah diterima oleh DPR RI sejak Oktober tahun lalu, bisa segera diselesaikan. "Idealnya semua UU yang masuk ke DPR selesai sebelum masa jabatannya berakhir," kata Andi Mattalatta.
Menurutnya, pembahasan dan pengesahan yang kian mandek, memberikan kesan jika DPR tidak serius dalam menangani RUU Tipikor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar