Pernyataan Pers
Inisiatif yang dilakukan oleh Kepala Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk melakukan audit terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sungguh mengejutkan. Terutama karena pertama, inisiatif ini dilakukan setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan pernyataan kontroversial yang mengingatkan bahwa KPK harus dikontrol. Dengan demikian, audit yang akan dilakukan oleh BPKP tidak lepas dari kebijakan Presiden untuk mengontrol dan mengurangi kewenangan KPK.
Kedua, BPKP sendiri sesungguhnya tidak memiliki kewenangan untuk melakukan audit terhadap KPK. BPKP adalah lembaga pengawas internal yang berada di bawah eksekutif. Sebagai pengawas internal, tugas BPKP adalah melakukan audit atas permintaan kepala instansi di bawah eksekutif. Oleh karena itu, rencana BPKP untuk melakukan audit sudah melampaui kewenangannya dan merupakan abuse of power dari Presiden karena KPK merupakan lembag a independen. KPK tidak berada di bawah cabang kekuasaan eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Meskipun pimpinan KPK diseleksi oleh Presiden dan DPR, akan tetapi dalam pelaksanaanya, KPK tidak berada di bawah baik Presiden maupun DPR.
Terkait dengan audit oleh BPKP, ada masalah inefisiensi dalam pengawasan keuangan negara. Selama ini dianggap Indonesia memiliki banyak lembaga pengawasan akan tetapi efektivitasnya dipertanyakan. Padahal seharusnya yang dipertanyakan efektivitasnya adalah pengawasan internal. Sebagai auditor eksternal, Indonesia sudah memiliki Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang berhak melakukan audit setiap lembaga negara dan setiap lembaga yang menerima dan mengelola setiap sen uang negara.
Sementara auditor internal, pemerintah memiliki banyak lembaga. Selain BPKP, di setiap Departemen dan Kementrian terdapat Inspektorat Jenderal yang bertugas melakukan pengawasan. Di setiap pemerintah Propinsi, Kota dan Kabupaten juga dibentuk Badan Pengawasan Daerah (Bawasda). Di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) juga dikenal adanya Satuan Pengawas Internal (SPI). Semua lembaga tersebut adalah auditor internal yang bekerja untuk pimpinan instansi.
Persoalannya, pada masa Orde Baru justru pengawasan internal yang diperkuat daripada pengawasan eksternal. Akibatnya BPK yang sangat strategis perannya untuk mengawasi pelaksanaan keuangan negara dan mencegah korupsi justru memiliki sumber daya terbatas. Bandingkan jumlah auditor yang dimiliki oleh BPK dan BPKP. BPKP memiliki kurang lebih 5914 pegawai dengan 3146 auditor, sementara BPK hanya memiliki 4382 pegawai dengan 2644 auditor. Demikian juga kantor perwakilan, BPKP memiliki kantor di 25 propinsi di Indonesia. Sementara BPK baru memiliki kantor di 33 propinsi pada tahun 2008 lalu.
Akibat minimnya sumber daya, BPK tidak mampu untuk melakukan audit di seluruh satuan kerja yang mengelola uang negara di 35 departemen dan kementrian, lebih dari 135 BUMN, dan l494 pemerintah kota dan kabupaten dan 33 propinsi. Akibatnya BPK hanya melakukan audit secara umum setiap semesternya. Bahkan beberapa audit dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) atas nama BPK.
Sementara itu, BPKP yang memiliki auditor lebih besar justru tidak efektif dipergunakan. Karena sebagai auditor internal, BPKP tidak bisa melakukan audit sebelum ada permintaan dari pimpinan instansi. Selain itu, laporan BPKP hanya disampaikan kepada pimpinan instansi yang meminta bantuan audit sehingga publik tidak bisa mengakses laporan BPKP.
Seharusnya, agar pengawasan terhadap keuangan negara semakin efektif, keberadaan BPKP tidak diperlukan. Auditor dan sumber daya lainnya yang dimiliki oleh BPKP bisa disalurkan ke BPK dan lembaga pengawas internal lainnya. Apalagi selama 5 tahun berturut-turut Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) mendapat opini Disclaimer dari BPK. Demikian juga persentase laporan keuangan Pemerintah Daerah yang mendapatkan opini disclaimer juga terus meningkat.
Untuk itu, keberadaan auditor BPKP justru diperlukan oleh lembaga pengawas internal seperti Inspektorat Jenderal dan Bawasda yang bisa dengan cepat membantu bagian keuangan sehingga ketika diaudit oleh BPK mendapatkan opini yang baik, yakni Wajar Tanpa Pengecualian. Oleh karena itu, daripada Presiden meminta BPKP untuk mengaudit KPK seperti ada yang disampaikan oleh Kepala BPKP, justru lebih baik Presiden memerintahkan BPKP untuk mengaudit dan membenahi Kejaksaan Agung yang berada di bawah Presiden, terutama dalam pengembalian kerugian kekayaan negara yang bermasalah.
Oleh karena itu kami mendesak Presiden
Inisiatif yang dilakukan oleh Kepala Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk melakukan audit terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sungguh mengejutkan. Terutama karena pertama, inisiatif ini dilakukan setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan pernyataan kontroversial yang mengingatkan bahwa KPK harus dikontrol. Dengan demikian, audit yang akan dilakukan oleh BPKP tidak lepas dari kebijakan Presiden untuk mengontrol dan mengurangi kewenangan KPK.
Kedua, BPKP sendiri sesungguhnya tidak memiliki kewenangan untuk melakukan audit terhadap KPK. BPKP adalah lembaga pengawas internal yang berada di bawah eksekutif. Sebagai pengawas internal, tugas BPKP adalah melakukan audit atas permintaan kepala instansi di bawah eksekutif. Oleh karena itu, rencana BPKP untuk melakukan audit sudah melampaui kewenangannya dan merupakan abuse of power dari Presiden karena KPK merupakan lembag a independen. KPK tidak berada di bawah cabang kekuasaan eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Meskipun pimpinan KPK diseleksi oleh Presiden dan DPR, akan tetapi dalam pelaksanaanya, KPK tidak berada di bawah baik Presiden maupun DPR.
Terkait dengan audit oleh BPKP, ada masalah inefisiensi dalam pengawasan keuangan negara. Selama ini dianggap Indonesia memiliki banyak lembaga pengawasan akan tetapi efektivitasnya dipertanyakan. Padahal seharusnya yang dipertanyakan efektivitasnya adalah pengawasan internal. Sebagai auditor eksternal, Indonesia sudah memiliki Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang berhak melakukan audit setiap lembaga negara dan setiap lembaga yang menerima dan mengelola setiap sen uang negara.
Sementara auditor internal, pemerintah memiliki banyak lembaga. Selain BPKP, di setiap Departemen dan Kementrian terdapat Inspektorat Jenderal yang bertugas melakukan pengawasan. Di setiap pemerintah Propinsi, Kota dan Kabupaten juga dibentuk Badan Pengawasan Daerah (Bawasda). Di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) juga dikenal adanya Satuan Pengawas Internal (SPI). Semua lembaga tersebut adalah auditor internal yang bekerja untuk pimpinan instansi.
Persoalannya, pada masa Orde Baru justru pengawasan internal yang diperkuat daripada pengawasan eksternal. Akibatnya BPK yang sangat strategis perannya untuk mengawasi pelaksanaan keuangan negara dan mencegah korupsi justru memiliki sumber daya terbatas. Bandingkan jumlah auditor yang dimiliki oleh BPK dan BPKP. BPKP memiliki kurang lebih 5914 pegawai dengan 3146 auditor, sementara BPK hanya memiliki 4382 pegawai dengan 2644 auditor. Demikian juga kantor perwakilan, BPKP memiliki kantor di 25 propinsi di Indonesia. Sementara BPK baru memiliki kantor di 33 propinsi pada tahun 2008 lalu.
Akibat minimnya sumber daya, BPK tidak mampu untuk melakukan audit di seluruh satuan kerja yang mengelola uang negara di 35 departemen dan kementrian, lebih dari 135 BUMN, dan l494 pemerintah kota dan kabupaten dan 33 propinsi. Akibatnya BPK hanya melakukan audit secara umum setiap semesternya. Bahkan beberapa audit dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) atas nama BPK.
Sementara itu, BPKP yang memiliki auditor lebih besar justru tidak efektif dipergunakan. Karena sebagai auditor internal, BPKP tidak bisa melakukan audit sebelum ada permintaan dari pimpinan instansi. Selain itu, laporan BPKP hanya disampaikan kepada pimpinan instansi yang meminta bantuan audit sehingga publik tidak bisa mengakses laporan BPKP.
Seharusnya, agar pengawasan terhadap keuangan negara semakin efektif, keberadaan BPKP tidak diperlukan. Auditor dan sumber daya lainnya yang dimiliki oleh BPKP bisa disalurkan ke BPK dan lembaga pengawas internal lainnya. Apalagi selama 5 tahun berturut-turut Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) mendapat opini Disclaimer dari BPK. Demikian juga persentase laporan keuangan Pemerintah Daerah yang mendapatkan opini disclaimer juga terus meningkat.
Untuk itu, keberadaan auditor BPKP justru diperlukan oleh lembaga pengawas internal seperti Inspektorat Jenderal dan Bawasda yang bisa dengan cepat membantu bagian keuangan sehingga ketika diaudit oleh BPK mendapatkan opini yang baik, yakni Wajar Tanpa Pengecualian. Oleh karena itu, daripada Presiden meminta BPKP untuk mengaudit KPK seperti ada yang disampaikan oleh Kepala BPKP, justru lebih baik Presiden memerintahkan BPKP untuk mengaudit dan membenahi Kejaksaan Agung yang berada di bawah Presiden, terutama dalam pengembalian kerugian kekayaan negara yang bermasalah.
Oleh karena itu kami mendesak Presiden
- Tentang audit terhadap KPK, Kepala BPKP mengaku mendapatkan perintah dari Presiden, sedangkan Presiden menyatakan tidak pernah memerintahkan BPKP untuk mengaudit BPK. Kesimpangsiuran ini harus dijelaskan oleh Presiden karena rencana audit oleh BPKP merupakan pelanggaran atas wewenang eksekutif.
- Bubarkan BPKP, lebur ke dalam BPK dan lembaga pengawas internal lainnya untuk efektivitas pengawasan keuangan Negara.
- Selain membubarkan BPKP, Presiden juga harus menyelesaikan RUU Pengadilan Tipikor, dengan memerintahkan fraksi demokrat dan berkoordinasi dengan partai koalisi untuk menyelesaikan UU tersebut di DPR. Bersihkan Kejaksaan dan Kepolisian.
Jakarta, 26 Juni 2009
KOALISI PENYELAMAT PEMBERANTASAN KORUPSI
(ICW, LBH Jakarta, KRHN, MAPPI FH UI, TII, MTI, LeIP, PSHK, ILR, ILRC, IBC, ICEL, PuKAT FH UGM, YLBHI, RACA Institute, Wahid Institute, FITRA, LBH Padang, ICM Yogyakarta, PuSaKo Universitas Andalas, AMAK, KP2KKN Jawa Tengah, Pokja 30 Kaltim, Malang Corruption Watch (MCW),Bali Corruption Watch (BCW), SaHDAR Medan, MATA Aceh, PIAR Kupang,Garut Governance Watch (GGW), PATTIRO Semarang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar