IMF menyalurkan pinjamam untuk memperkuat cadangan devisa Indonesia sebesar US$2,7 miliar. Bank Indonesia (BI) memastikan likuiditas yang akan diterima Indonesia pada kuartal III-2009 bukan pinjamam dan tidak memiliki konsekuensi tambahan biaya setelah dicairkan.
Namun, ekonom Tim Indonesia, Bangkit Revrisond Baswir yang dihubungi SH di Yokyakarta, berpendapat lain. Ia beranggapan, utang dalam bentuk SDR (Special Drawing Rights) tetap saja harus dikembalikan karena itu bukan uang Indonesia.
Hal ini terlihat dari biaya administrasi yang tetap dibebankan kepada Indonesia, meskipun utang dilakukan oleh bank sentral.
“Pemerintah memang tidak berutang dan utang dilakukan oleh bank sentral, tetapi esensinya tetap sama,” kata Revrisond.
Ia mengatakan utang dari IMF ini bukanlah angin surga yang dijanjikan dalam kampanye kemarin, tetapi sungguh-sungguh kenyataan.
Utang ini diberikan kepada negara-negara anggota IMF yang memiliki cadangan devisa kecil. “Negara-negara dengan cadangan devisa besar seperti China tidak mungkin mengambil utang seperti ini,” katanya.
Dihubungi terpisah, ekonom Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM Fahmi Radhi menyatakan skema utang melalui SDR ini hanya akal-akalan IMF menjadikan Indonesia tergantung kepada lembaga tersebut.
Meskipun Indonesia tidak terlalu terpengaruh pada krisis ekonomi dunia, namun cadangan devisa Indonesia kecil dibandingkan sejumlah negara tetangga.
Cadangan devisa Indonesia amat rapuh terutama ditopang oleh aliran hot money. Ia menyatakan tujuan jangka panjang dari utang ini membuat Indonesia tergantung kepada IMF dan Indonesia akan dipaksa menjalankan agenda liberalisasi ekonomi ala IMF. “Indonesia tidak berkutik setiap diperintah IMF dan menyambar setiap tawaran utang IMF,” tandasnya. Janji-janji gagah berani yang tidak ingin berutang dan tergantung pada IMF ternyata hanya pepesan kosong dan angin surga.
Dalam siaran pers, Deputi Gubernur BI Hartadi A Sarwono mengatakan, suntikan dana tersebut dalam rangka penanganan krisis 2009 bertujuan memperkuat likuiditas global dengan cara meningkatkan cadangan devisa negara-negara anggota IMF, termasuk Indonesia. Dikatakan, dana yang akan diterima RI merupakan bagian dari pengalokasian SDR oleh IMF.
Ini bukan fasilitas pinjaman IMF seperti yang pernah diterima pemerintah Indonesia pada krisis 1997/1998. Alokasi ini untuk semua negara-negara anggota IMF dan semata-mata bagian dari upaya global menanggulangi krisis melalui penyediaan likuiditas global,” jelasnya.
Hartadi merinci dari total US$ 2,7 miliar dana yang akan diterima Indonesia dalam bentuk SDR bersumber dari pengalokasian umum SDR (General SDR Allocation) sebesar SDR 1,54 miliar (US$ 2,4 miliar) dan alokasi khusus SDR 200,1 juta (US$ 312 juta).
Ia melanjutkan dana SDR 1,54 miliar akan dicairkan pada 28 Agustus 2009, sedangkan US$ 200,1 juta akan masuk ke cadangan devisa RI 9 September mendatang.
Jadwal pendistribusian SDR tersebut dilakukan serentak kepada 186 negara anggota IMF dengan besaran yang berbeda sesuai dengan proporsi dan kuota masing-masing.
SDR adalah cadangan devisa internasional yang diciptakan sejak 1969 sebagai tambahan cadangan devisa negara-negara anggota IMF.
Peningkatan alokasi SDR IMF ke cadangan devisa Indonesia tidak akan menimbulkan tambahan biaya. Namun, BI harus membayar biaya administrasi ke IMF sebesar 0,01 persen per tahun.
Namun, ekonom Tim Indonesia, Bangkit Revrisond Baswir yang dihubungi SH di Yokyakarta, berpendapat lain. Ia beranggapan, utang dalam bentuk SDR (Special Drawing Rights) tetap saja harus dikembalikan karena itu bukan uang Indonesia.
Hal ini terlihat dari biaya administrasi yang tetap dibebankan kepada Indonesia, meskipun utang dilakukan oleh bank sentral.
“Pemerintah memang tidak berutang dan utang dilakukan oleh bank sentral, tetapi esensinya tetap sama,” kata Revrisond.
Ia mengatakan utang dari IMF ini bukanlah angin surga yang dijanjikan dalam kampanye kemarin, tetapi sungguh-sungguh kenyataan.
Utang ini diberikan kepada negara-negara anggota IMF yang memiliki cadangan devisa kecil. “Negara-negara dengan cadangan devisa besar seperti China tidak mungkin mengambil utang seperti ini,” katanya.
Dihubungi terpisah, ekonom Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM Fahmi Radhi menyatakan skema utang melalui SDR ini hanya akal-akalan IMF menjadikan Indonesia tergantung kepada lembaga tersebut.
Meskipun Indonesia tidak terlalu terpengaruh pada krisis ekonomi dunia, namun cadangan devisa Indonesia kecil dibandingkan sejumlah negara tetangga.
Cadangan devisa Indonesia amat rapuh terutama ditopang oleh aliran hot money. Ia menyatakan tujuan jangka panjang dari utang ini membuat Indonesia tergantung kepada IMF dan Indonesia akan dipaksa menjalankan agenda liberalisasi ekonomi ala IMF. “Indonesia tidak berkutik setiap diperintah IMF dan menyambar setiap tawaran utang IMF,” tandasnya. Janji-janji gagah berani yang tidak ingin berutang dan tergantung pada IMF ternyata hanya pepesan kosong dan angin surga.
Dalam siaran pers, Deputi Gubernur BI Hartadi A Sarwono mengatakan, suntikan dana tersebut dalam rangka penanganan krisis 2009 bertujuan memperkuat likuiditas global dengan cara meningkatkan cadangan devisa negara-negara anggota IMF, termasuk Indonesia. Dikatakan, dana yang akan diterima RI merupakan bagian dari pengalokasian SDR oleh IMF.
Ini bukan fasilitas pinjaman IMF seperti yang pernah diterima pemerintah Indonesia pada krisis 1997/1998. Alokasi ini untuk semua negara-negara anggota IMF dan semata-mata bagian dari upaya global menanggulangi krisis melalui penyediaan likuiditas global,” jelasnya.
Hartadi merinci dari total US$ 2,7 miliar dana yang akan diterima Indonesia dalam bentuk SDR bersumber dari pengalokasian umum SDR (General SDR Allocation) sebesar SDR 1,54 miliar (US$ 2,4 miliar) dan alokasi khusus SDR 200,1 juta (US$ 312 juta).
Ia melanjutkan dana SDR 1,54 miliar akan dicairkan pada 28 Agustus 2009, sedangkan US$ 200,1 juta akan masuk ke cadangan devisa RI 9 September mendatang.
Jadwal pendistribusian SDR tersebut dilakukan serentak kepada 186 negara anggota IMF dengan besaran yang berbeda sesuai dengan proporsi dan kuota masing-masing.
SDR adalah cadangan devisa internasional yang diciptakan sejak 1969 sebagai tambahan cadangan devisa negara-negara anggota IMF.
Peningkatan alokasi SDR IMF ke cadangan devisa Indonesia tidak akan menimbulkan tambahan biaya. Namun, BI harus membayar biaya administrasi ke IMF sebesar 0,01 persen per tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar