Kamis, September 03, 2009

OC Kaligis: Perdamaian dengan Omni Omong Kosong

Pengacara Prita Mulyasari (32), OC Kaligis SH mengatakan, perdamaian dengan manajemen RS Omni Internasional, Serpong, Kota Tangerang Selatan, Banten hanya omong kosong dan menguntungkan satu pihak serta merugikan kliennya.

"Setelah kita pelajari, ternyata perdamaian itu hanya omong kosong belaka," kata OC Kaligis di pelataran taman Pengadilan Negeri Tangerang, sebelum sidang digelar, Kamis.

Dia menyebutkan, dalam draf perdamaian disebutkan pihak Prita harus meminta maaf sementara manajemen RS Omni tidak mencabut perkara, itu namanya tidak adil.

Prita Mulyasari menjadi terdakwa kasus pencemaran nama baik terhadap manajemen dan para medis RS Omni Internasional yang kini kasusnya tengah disidang di PN Tangerang.

Namun dalam perjalanan persidangan ada kesepakatan untuk berdamai yang difasilitasi Wali Kota Tangerang Selatan HM. Sholeh MT beberapa pekan lalu dengan cara mempertemukan pimpinan RS Omni dengan Prita.

Padahal dalam sidang lanjutan tersebut merupakan proses dari surat perlawanan JPU yang dikirimkan pada 13 Juli 2009 kepada Pengadilan Tinggi (PT) Banten setelah PN Tangerang menghentikan sidang Prita 25 Juni 2009.

Pada 27 Juli 2009 PT Banten membalas surat JPU yang memutuskan sidang Prita dilanjutkan, dan tepat pada 19 Agustus 2009 Prita harus mengikuti sidang lanjutan.

Prita, ibu dua anak itu sempat dipenjara selama 21 hari karena dituduh mencemarkan nama baik rumah sakit Omni Internasional Alam Sutra, Serpong setelah mengirimkan surat elektronik berisikan keluhan akibat pelayanan sakit.

Bahkan ibu dua anak itu dijerat pasal berlapis yakni pasal 27 ayat 3 Undang-Undang No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi (ITE) dan 310 KUHP pencemaran nama baik dengan serta pasal 311 KUHP.

Menurut Kaligis, agenda sidang hari ini akan mendengarkan saksi yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Riyadi SH yakni pimpinan dan petugas laboratorium RS Omni karena menyatakan trombosit yang dialamin Prita semula 27.000 menjadi 181.000.

Kaligis sudah mencari keterangan lain dari beberapa dokter bahwa trobosit pasien tidak mudah berubah secara drastis dalam waktu lima jam dari 27.000 menjadi 181.000.

Prita Siap Sumpah Pocong

Pengacara Prita Mulyasari (32) terdakwa pencemaran nama baik terhadap manajemen dan petugas medis RS Omni Internasional, Tangerang, Banten, Slamet Yuwono mengatakan kliennya siap melakukan sumpah pocong karena tidak pernah berkata kasar.

"Itu fitnah dan klien saya tidak pernah berkata kasar kepada petugas di RS Omni dan berani sumpah pocong untuk pembuktiannya," kataSlametdi Tangerang, Kamis.

Ia mengatakan masalah tersebut ketika diminta komentarnya terkait sidang saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Riyadi SH bahwa Prita pernah berkata kasar dan mencaci maki petugas petugas RS Omni.

Dia menambahkan, akibat tuduhan itu menyebabkan Prita menangis saat sidang digelar bahwa sebagai umat beragama tentu tidak penerima penjelasan saksi Ogyana.

Bahkan saksi Ogyana Nandri, koordinator pelayanan pelanggan RS Omni bahwa Prita pernah menyampaikan kata-kata kasar kepada Prita melalui telepon.

Dalam persidangan dengan ketua majelis hakim Arthur Hangewa SH mendengarkan dua saksi yakni Supriyanto, petugas analisa laboratorium RS Omni dan Ogyana Nandri.

Sementara itu, JPU Riyadi mengatakan, kata-kata kasar yang dilontarkan terdakwa kepada Ogyana tidak ada dalam Berita Acara Pemerikasaan (BAP) penyidik melainkan fakta yang terungkap dalam persidangan.

Namun, ia menyebutkan fakta di persidangan itu akan dianalisa secara yuridis agar diperoleh kesimpulan untuk dapat memperkuat dakwaan, seperti kata-kata kasar tersebut yang disampaikan Prita.

Sidang lanjutan Prita merupakan proses dari surat perlawanan JPU yang dikirimkan pada 13 Juli 2009 kepada Pengadilan Tinggi (PT) Banten setelah PN Tangerang menghentikan sidang Prita 25 Juni 2009. Pada 27 Juli 2009 PT Banten membalas surat JPU dan tepat pada 19 Agustus 2009 Prita harus mengikuti sidang kembali.

Ibu dua anak itu pernah mendekam dipenjara selama 21 hari karena dituduh mencemarkan nama baik rumah sakit Omni setelah mengirimkan surat eletronik (e-mail) kepada rekannya berisikan keluhan akibat pelayanan tidak maksimal.

Akibat tindakan itu, maka Prita dijerat pasal berlapis yakni pasal 27 ayat 3 Undang-Undang No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi (ITE) dan 310 KUHP pencemaran nama baik dengan serta pasal 311 KUHP.

JPU akan menghadapkan saksi lagi yakni dr.Yuniwati Gunawan dari RS Internasional Bintaro, Tangerang dan pakar bahasa dari Departemen Pendidikan Nasional, Sriyanto untuk didengarkan kesaksiannya.

KPK Tetapkan Bupati Siak Tersangka

Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Bupati Siak, Provinsi Riau, Arwin As., sebagai tersangka. Menurut juru bicara KPK, Johan Budi S.P., penetapan tersebut diduga berkaitan dengan kasus dugaan korupsi dalam penerbitan surat izin pemanfaatan hutan. "Penerbitan surat izin diduga menyalahi ketentuan," ujar Johan saat dihubungi kemarin.

Johan menjelaskan, Arwin diduga telah menerbitkan surat Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) untuk beberapa perusahaan dengan menyalahi ketentuan. Selain itu, Arwin diduga telah menerima hadiah berkaitan dengan izin penerbitan tersebut.

Perbuatan itu, menurut Komisi Antikorupsi, dilakukan pada 2001-2003. KPK menduga Arwin telah melanggar Pasal 2 ayat 1, 3, dan 5 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Perihal jumlah dugaan kerugian negara, Johan mengatakan, "Kami belum menghitung seluruh kerugian negara yang timbul dalam kasus ini."

Kasus ini terungkap setelah KPK mendalami kasus serupa yang terjadi di Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Dalam kasus ini Bupati Pelalawan Azmun Ja'far telah dijatuhi hukuman 11 tahun penjara karena terbukti menerbitkan IUPHHKHT secara menyalahi hukum di Pelalawan pada 2002-2003.

KPK dan BPK Perlu Ungkap Skandal Bank Century

Secara mengejutkan terungkap bahwa Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) telah menambah modal Bank Century hingga Rp. 6,76 triliun. Penambahan modal ini merupakan konsekuensi dari pengambilalihan Bank Century oleh LPS menyusul kolapsnya bank ini. Kebijakan ini sebetulnya bukan hanya mengambilalih bank, akan tetapi juga menjamin seluruh simpanan nasabah. Termasuk simpanan yang besarnya lebih dari Rp. 2 miliar.

Kebijakan pengambilalihan ini dipertanyakan karena Pertama, tidak ada situasi yang membenarkan penyelamatan ini merupakan bagian dari kebijakan sistemik Bank Indonesia menghadapi krisis finansial global. Tidak ada ancaman rush atau penarikan dana secara tiba-tiba di perbankan Indonesia. Bank Century juga bukan bank retail yang memiliki banyak nasabah dan kantor cabang.

Kedua, dana yang dihimpun oleh Bank Century ternyata sebagian diinvestasikan ke surat-surat berharga yang tidak ada nilainya alias asetnya bodong. Dengan demikian, sejak awal bisa diperkirakan bahwa LPS pasti akan merugi karena suntikan dana untuk penyehatan perbankan tidak akan sebanding dengan aset yang diambil laih.

Kebijakan penyelamatan Bank Century lagi-lagi negara menjadi pemadam kebakaran yang ditimbulkan dari beragam bentuk dugaan penyelewenangan dan fraud di perbankan. Tanpa pengawasan, dana APBN yang dikumpulkan dari para pembayar pajak akan dipergunakan untuk memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan oleh praktek korupsi.

Kasus ini bukan yang pertama karena sudah ada preseden kasus skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Hingga sekarang utang BLBI harus dibayar oleh negara melalui uang pembayar pajak. Bukan tidak mungkin, Skandal Bank Century bisa menjadi BLBI Jilid II bila kemudian LPS meminta dana dari negara karena hutang pemilik bank kepada nasabah ditanggung oleh negara.

Persolan lainnya, proses penyehatan Bank Century dilakukan secara tertutup. Belum ada informasi daftar nasabah yang dijamin menggunakan dana dari LPS. Ketertutupan ini akhirnya dapat memicu praktek korupsi dalam pencairan dana nasabah. Salah satu kasus yang sempat mengemuka di publik terkait dengan salah seorang petinggi Mabes POLRI, yakni dalam pencaiaran dana PT. LSB. Hal itu menunjukkan bagaimana korupsi rawan terjadi dalam kasus ini.

Laporan keuangan Bank Century yang berada di bawah pengawasan LPS menunjukkan selama 6 bulan di tahun 2009 terjadi penurunan kewajiban terhadap nasabah dalam bentuk giro dan deposito, dari Rp. 10,8 triliun pada Desember 2008 menjadi Rp. 5,1 triliun pada Juni 2009. Diduga selama 6 bulan tersebut terjadi penarikan dana nasabah dalam jumlah besar. Tidak ada informasi kepada publik padahal penarikan dana dalam jumlah besar ini berpotensi merugikan negara.

Segala persoalan Bank Century, tentu sangat mungkin mengakibatkan kerugian negara yang cukup besar. Domain LPS dan kebijakan Pemerintah untuk penyelamatan Bank Century tentu perlu diungkap lebih dalam. Sesuai dengan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945, Institusi yang kapabel untuk melakukan pemeriksaan tentu saja adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Harapannya, akan dapat diketahui dengan lebih jernih, dimana saja Fraud terjadi, dan aturan apa saja yang dilanggar.

ICW: Voting Tertutup Calon Anggota BPK Berpotensi Suap

Fahmi Badoh, Koordinator Bidang Korupsi dan Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan, rencana Komisi XI DPR untuk menggunakan mekanisme voting tertutup pada pemilihan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dimulai 7 September mendatang sangat berpotensi terjadi suap.

"Potensi suap dan KKN pada sistem voting tertutup sangat terbuka lebar. Seharusnya anggota Komisi XI DPR mempunyai `political will` untuk menghindari setiap bentuk keputusan yang berbau suap walaupun tata tertib memungkinkan untuk itu," katanya di Jakarta, Rabu.

Ia mengatakan, voting tertutup akan menghilangkan nilai seleksi itu sendiri apalagi jika tidak ada preferensi yang dibuat sendiri oleh Komisi XI untuk mengukur pilihannya.

"Kalau tetap dilakukan, maka hal itu makin menguatkan dugaan seleksi ini lebih bersifat politis daripada sebagai wadah untuk menghasilkan anggota BPK yang berkualitas," katanya.

Menjelang proses pemilihan anggota BPK dikuatirkan terjadi suap dan kompromi-kompromi yang dilakukan para kandidat anggota BPK ke Komisi XI DPR. Selain itu, Komisi XI DPR juga ditengarai lebih memilih rekan-rekannya yang akan pensiun dan melamar menjadi anggota BPK.

Fahmi justru lebih menghargai sikap DPD yang melakukan seleksi lebih terbuka bahkan mengumumkan tujuh nama yang direkomendasikan untuk dipilih oleh Komisi XI DPR.

Tujuh nama calon anggota DPD yang "sangat direkomendasikan" DPD itu adalah Syafri Adnan Baharuddin (mantan Direktur Pengawasan Keuangan Daerah BPKP), Sugiharto (mantan Menteri Negara BUMN), Soepomo Prodjoharjono (anggota Tim Pedoman Pemeriksaan BPK), Djoko Susanto (dosen Universitas Padjajaran dan UGM), Bambang Pamungkas (Direktur Fasilitas Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah Depdagri).

Dua lainnya adalah Teuku Radja Sjahnan (konsultan publik financial management World Bank), dan Daeng Mochamad Nazier (Kepala Direktorat Utama Perencanaan, Evaluasi, Penelitian, dan Pengembangan BPK).

Fahmi Badoh mengatakan, "Daerah sangat berkepentingan, BPK diisi oleh orang-orang yang berkompenten dan independen karena hasil audit BPK menjadi tolok ukur pengelolaan keuangan daerah".

Oleh karena itu, ia mewanti-wanti agar posisi BPK jangan hanya dijadikan tempat penampungan bagi pensiunan DPR apalagi mereka tidak mempunyai kompetensi dibidang audit dan keuangan.

Hal senada dengan pengamat kebijakan publik, Ichsanudin Noorsy, bahwa selama ini sudah ada jalur karir bagi mantan anggota DPR termasuk sebagai anggota BPK sehingga tidak aneh jika DPR membuat aturan untuk seleksi angota BPK dengan voting tertutup.

"Ini memang ada standar ganda, karena pemilihan Ketua DPR saja dilakukan dengan voting terbuka, tetapi untuk anggota BPK ini dilakukan voting tertutup," katanya.

Ia mengatakan, seleksi anggota BPK itu sebenarnya hanya formalitas. "Ini seperti formalitas saja dan saya sangat kecewa karena banyak calon yang mempunyai rekam jejak dalam kasus korupsi tetapi kemungkinan akan tetap dipilih," katanya.

Ia mengungkapkan, mempunyai catatan rekam jejak sejumlah koruptor dan sudah dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sebelumnya, DPD juga melakukan "fit and proper test" terhadap calon anggota BPK tersebut dan telah menetapkan tujuh nama yang sangat direkomendasikan ("highly recommended") dari 14 nama yang direkomendasikan sebagai anggota BPK.

Komposisi pelamar anggota BPK yang akan diseleksi Komisi XI DPR yaitu 8 orang dari kalangan DPR, 16 orang dalam BPK, 3 pensiunan, 1 BIN, 1 Akuntan, 4 dosen, 1 guru, 1 staff ahli wapres, 1 BPS, 1 eks menteri, 2 eks pimpinan KPK, 2 Depdagri, 1 LIPI, 1 KPPN, 2 konsultan, 1 Staf Ahli DPR/Eks BPK dan 5 swasta.