Rabu, Juli 01, 2009

BUBARKAN BPKP: UNTUK EFEKTIVITAS PENGAWASAN KEUANGAN NEGARA

Pernyataan Pers

Inisiatif yang dilakukan oleh Kepala Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk melakukan audit terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sungguh mengejutkan. Terutama karena pertama, inisiatif ini dilakukan setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan pernyataan kontroversial yang mengingatkan bahwa KPK harus dikontrol. Dengan demikian, audit yang akan dilakukan oleh BPKP tidak lepas dari kebijakan Presiden untuk mengontrol dan mengurangi kewenangan KPK.

Kedua, BPKP sendiri sesungguhnya tidak memiliki kewenangan untuk melakukan audit terhadap KPK. BPKP adalah lembaga pengawas internal yang berada di bawah eksekutif. Sebagai pengawas internal, tugas BPKP adalah melakukan audit atas permintaan kepala instansi di bawah eksekutif. Oleh karena itu, rencana BPKP untuk melakukan audit sudah melampaui kewenangannya dan merupakan abuse of power dari Presiden karena KPK merupakan lembag a independen. KPK tidak berada di bawah cabang kekuasaan eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Meskipun pimpinan KPK diseleksi oleh Presiden dan DPR, akan tetapi dalam pelaksanaanya, KPK tidak berada di bawah baik Presiden maupun DPR.

Terkait dengan audit oleh BPKP, ada masalah inefisiensi dalam pengawasan keuangan negara. Selama ini dianggap Indonesia memiliki banyak lembaga pengawasan akan tetapi efektivitasnya dipertanyakan. Padahal seharusnya yang dipertanyakan efektivitasnya adalah pengawasan internal. Sebagai auditor eksternal, Indonesia sudah memiliki Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang berhak melakukan audit setiap lembaga negara dan setiap lembaga yang menerima dan mengelola setiap sen uang negara.

Sementara auditor internal, pemerintah memiliki banyak lembaga. Selain BPKP, di setiap Departemen dan Kementrian terdapat Inspektorat Jenderal yang bertugas melakukan pengawasan. Di setiap pemerintah Propinsi, Kota dan Kabupaten juga dibentuk Badan Pengawasan Daerah (Bawasda). Di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) juga dikenal adanya Satuan Pengawas Internal (SPI). Semua lembaga tersebut adalah auditor internal yang bekerja untuk pimpinan instansi.

Persoalannya, pada masa Orde Baru justru pengawasan internal yang diperkuat daripada pengawasan eksternal. Akibatnya BPK yang sangat strategis perannya untuk mengawasi pelaksanaan keuangan negara dan mencegah korupsi justru memiliki sumber daya terbatas. Bandingkan jumlah auditor yang dimiliki oleh BPK dan BPKP. BPKP memiliki kurang lebih 5914 pegawai dengan 3146 auditor, sementara BPK hanya memiliki 4382 pegawai dengan 2644 auditor. Demikian juga kantor perwakilan, BPKP memiliki kantor di 25 propinsi di Indonesia. Sementara BPK baru memiliki kantor di 33 propinsi pada tahun 2008 lalu.

Akibat minimnya sumber daya, BPK tidak mampu untuk melakukan audit di seluruh satuan kerja yang mengelola uang negara di 35 departemen dan kementrian, lebih dari 135 BUMN, dan l494 pemerintah kota dan kabupaten dan 33 propinsi. Akibatnya BPK hanya melakukan audit secara umum setiap semesternya. Bahkan beberapa audit dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) atas nama BPK.

Sementara itu, BPKP yang memiliki auditor lebih besar justru tidak efektif dipergunakan. Karena sebagai auditor internal, BPKP tidak bisa melakukan audit sebelum ada permintaan dari pimpinan instansi. Selain itu, laporan BPKP hanya disampaikan kepada pimpinan instansi yang meminta bantuan audit sehingga publik tidak bisa mengakses laporan BPKP.

Seharusnya, agar pengawasan terhadap keuangan negara semakin efektif, keberadaan BPKP tidak diperlukan. Auditor dan sumber daya lainnya yang dimiliki oleh BPKP bisa disalurkan ke BPK dan lembaga pengawas internal lainnya. Apalagi selama 5 tahun berturut-turut Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) mendapat opini Disclaimer dari BPK. Demikian juga persentase laporan keuangan Pemerintah Daerah yang mendapatkan opini disclaimer juga terus meningkat.

Untuk itu, keberadaan auditor BPKP justru diperlukan oleh lembaga pengawas internal seperti Inspektorat Jenderal dan Bawasda yang bisa dengan cepat membantu bagian keuangan sehingga ketika diaudit oleh BPK mendapatkan opini yang baik, yakni Wajar Tanpa Pengecualian. Oleh karena itu, daripada Presiden meminta BPKP untuk mengaudit KPK seperti ada yang disampaikan oleh Kepala BPKP, justru lebih baik Presiden memerintahkan BPKP untuk mengaudit dan membenahi Kejaksaan Agung yang berada di bawah Presiden, terutama dalam pengembalian kerugian kekayaan negara yang bermasalah.

Oleh karena itu kami mendesak Presiden
  1. Tentang audit terhadap KPK, Kepala BPKP mengaku mendapatkan perintah dari Presiden, sedangkan Presiden menyatakan tidak pernah memerintahkan BPKP untuk mengaudit BPK. Kesimpangsiuran ini harus dijelaskan oleh Presiden karena rencana audit oleh BPKP merupakan pelanggaran atas wewenang eksekutif.
  2. Bubarkan BPKP, lebur ke dalam BPK dan lembaga pengawas internal lainnya untuk efektivitas pengawasan keuangan Negara.
  3. Selain membubarkan BPKP, Presiden juga harus menyelesaikan RUU Pengadilan Tipikor, dengan memerintahkan fraksi demokrat dan berkoordinasi dengan partai koalisi untuk menyelesaikan UU tersebut di DPR. Bersihkan Kejaksaan dan Kepolisian.

Jakarta, 26 Juni 2009

KOALISI PENYELAMAT PEMBERANTASAN KORUPSI

(ICW, LBH Jakarta, KRHN, MAPPI FH UI, TII, MTI, LeIP, PSHK, ILR, ILRC, IBC, ICEL, PuKAT FH UGM, YLBHI, RACA Institute, Wahid Institute, FITRA, LBH Padang, ICM Yogyakarta, PuSaKo Universitas Andalas, AMAK, KP2KKN Jawa Tengah, Pokja 30 Kaltim, Malang Corruption Watch (MCW),Bali Corruption Watch (BCW), SaHDAR Medan, MATA Aceh, PIAR Kupang,Garut Governance Watch (GGW), PATTIRO Semarang)

Selasa, Juni 30, 2009

Wartawan Tuntut Partai Demokrat Meminta Maaf

Aksi wartawan mengecam pemukulan anggota Partai Demokrat

Puluhan wartawan cetak dan elektronik membakar atribut Partai Demokrat (PD) dan meletakkan kartu pers di Kantor Dewan Pimpinan Pusat PD di Jalan Pemuda, Jakarta Timur, Sabtu (27/6). Aksi ini mereka lakukan karena kecewa atas penganiayaan oleh kader PD terhadap wartawan Sinar Harapan Odeodata Julia Vanduk di Jayapura, Papua, Jumat silam. Demonstran menuntut pimpinan PD meminta maaf secara terbuka dan mendesak polisi mengusut tuntas penganiayaan Odeodata

Aksi serupa juga dilakukan puluhan wartawan yang tergabung dalam Koalisi Wartawan Anti Kriminalisasi Pers di Makassar, Sulawesi Selatan. Mereka menyerahkan pernyataan sikap kepada Ketua Komisi Pengaduan Dewan Pers Abdullah Alamudi yang kebetulan berada di Makassar.

Seperti rekan mereka di Jakarta, para wartawan menuntut Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono sebagai calon presiden dari PD meminta maaf dan mendesak polisi mengusut tuntas. Selain itu, mereka menyatakan akan memboikot rencana kampanye Boediono di Makassar. Mereka menilai penganiayaan ini bertolak belakang dengan pernyataan SBY yang berkomitmen menghapus kriminalisasi pers dan mengedepankan kampanye bermartabat.

Seperti diberitakan, tersangka penganiaya bernama Rudolf Kambubui sudah ditangkap polisi di kediamannya di kawasan Sentani, Kabupaten Jayapura. Insiden bermula saat Odeodata hendak meliput kunjungan calon wakil presiden Boediono ke Jayapura, Jumat pagi. Korban kemudian ditendang hingga pingsan oleh Rudolf.

Kejadian berawal saat Odeodata akan meliput kunjungan calon wakil presiden Boediono ke Jayapura, Jumat (26/6). Ketika berada di halaman sebuah hotel tiba-tiba korban ditendang seorang kader Demokrat berinisial R. Sebelumnya sempat terjadi adu mulut antara korban dengan pelaku soal keberangkatan kendaraan wartawan dan rombongan partai yang ingin berangkat ke lokasi kunjungan cawapres Boediono. Terkait insiden tersebut, juru bicara tim pemenangan SBY-Boediono Rizal Malaranggeng langsung meminta maaf kepada seluruh wartawan.

Gubsu Laporkan ke DPRDSU: Sisa Anggaran Sumut Tahun 2008 Capai Rp 610,59 Miliar

Gubsu H Syamsul Arifin SE melaporkan sisa perhitungan anggaran Sumatra Utara tahun anggaran 2008 mencapai Rp 610,59 miliar, terdiri atas surplus anggaran tahun 2008 mencapai Rp258,50 miliar dan sisa lebih perhitungan anggaran tahun 2007.
Gubernur Sumut dalam laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD 2008 yang disampaikan Sekdaprovsu RE Nainggolan, pada rapat paripurna DPRD Sumut dipimpin wakil ketua dewan Japorman Saragih, Senin (29/6) di gedung dewan menyebutkan, realisasi penerimaan pembiayaan yang bersumber dari sisa lebih perhitungan anggaran 2007 tercatat Rp394,25 miliar.
“Sedangkan realisasi pengeluaran pembiayaan untuk membayar utang yang jatuh tempo serta penyertaan modal Rp42,17 miliar. Dengan demikian sisa perhitungan anggaran Sumut pada tahun anggaran 2008 mencapai Rp610,59 miliar,” ujar RE Nainggolan.
Pada rapat paripurna yang dihadiri segenap pejabat eselon jajaran Pemprovsu dan unsur Muspida disebutkan, realisasi pendapatan daerah Sumut tahun 2008 sebesar Rp3,22 triliun atau 101,56 persen dibandingkan target yang hanya Rp3,17 triliun.
Pendapatan daerah tersebut, Gubsu menjelaskan, berasal dari tiga sumber, masing-masing dari pendapatan asli daerah (PAD), dana perimbangan serta lain-lain pendapatan yang sah bersumber dari pendapatan hibah.
Sementara itu, realisasi belanja pada tahun yang sama tercatat Rp2,96 triliun atau hanya 84,09 persen dari yang ditargetkan pada awal tahun anggaran Rp3,52 triliun. Realisasi belanja tersebut dialokasikan untuk keperluan belanja tidak langsung meliputi belanja pegawai, hibah, bantuan sosial, bagi hasil kepada kabupaten/kota, bantuan keuangan dan belanja tak terduga, kemudian belanja langsung meliputi belanja pegawai, barang serta jasa dan modal.
Menurut gubernur, ada empat sumber utama penopang dana pada APBD 2008, dimana tiga di antaranya dari PAD berupa pajak daerah (PKB, BBN-KB dan PBB-KB) yang kontribusinya 63,03 persen.
Dana alokasi umum yang merupakan bagian dari dana transfer pemerintah pusat memiliki kontribusi 69,57 persen, sehingga kontribusi seluruhnya terhadap pendapatan daerah menunjukkan angka yang cukup tinggi yakni sebesar 22,91 persen.
Disebutkan Gubsu, Sumut perlu meningkatkan kontribusi sumber pendapatan lain diluar empat sumber tersebut agar ketergantungan APBD terhadap keempatnya dapat terus ditekan. “Kita perlu mencari sumber-sumber pendapatan baru sepanjang tidak bertentangan dengan kewenangan provinsi dalam menggali sumber-sumber pendapatan baru,”katanya.