Rabu, Juni 17, 2009

Diskriminasi Iklan di Media

Iklan Ditolak Tayang, Kubu Mega-Prabowo Minta Media Berimbang

Kubu pasangan Mega-Prabowo menyayangkan sikap stasiun televisi yang menolak menayangkan iklan kampanye Mega-Prabowo berjudul "Harga" (sebelumnya ditulis "bangkrut"). Jika tak menjelaskan alasan penolakannya, media tersebut dianggap tidak berimbang.

"Kalau penolakannya masuk akal dan dijelaskan rasionalisasinya mungkin kami bisa terima. Tetapi kalau tidak dijelaskan, jangan sampai tercipta persepsi publik kalau media tidak berimbang," ujar anggota Tim Kampanye Mega-Prabowo, Ganjar Pranowo, kepada detikcom di Gedung DPR, Jakarta, Rabu(17/6/2009).

Ganjar menambahkan, jika media sudah tidak berimbang dalam kebijakannya dan memihak pada salah satu pasangan tertentu, maka media membangun suasana unfair competition. Publik pun akan dengan mudah berpersepsi jika media tersebut melakukan penggiringan opini pada pasangan tertentu.

"Dan indikasi itu sudah ada. Misalnya iklan yang tidak diakui (kampanye) namun di dalamnya ada gambar pasangan capres, atau ada kalimat seperti 'ayo satu putaran' yang jelas-jelas milik pasangan tertentu," urai Sekretaris FPDIP ini.

Caleg DPR terpilih ini juga mensinyalir bahwa penolakan penayangan iklan Mega-Prabowo tidak terlepas dari figur pemilik media yang menjadi tim sukses pasangan tertentu.

"Kami sudah menyadari pemiliknya pendukung juga. Jadi tidak bisa dipungkiri keberpihakan itu," katanya.

Namun menurutnya, kubu Mega-Prabowo tidak akan gegabah menuding hal itu sebagai penyebab iklan mereka ditolak. "Tuduhan seperti itu terlalu prematur," tegasnya.

Meski mengaku kecewa, Ganjar mengatakan bahwa kubu Mega Prabowo bisa menghormati penolakan itu jika dijelaskan alasan penolakannya.

"Tapi jika tidak diberikan alasan yang jelas kenapa menolak, berarti dugaan media tidak berimbang itu memang benar," tandasnya.

Selasa, Juni 16, 2009

Hakim Minta Johnny Allen Dihadirkan

Rekaman penyidik menunjukkan Darmawati siapkan Rp7 miliar untuk DPR.

KETUA Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memerintahkan Jaksa Penuntut Umum menghadirkan Johnny Allen Marbun dalam persidangan. Selama persidangan perkara, saksi menyebut anggota DPR RI Komisi VI tersebut telah menerima uang senilai Rp1 miliar dari tersangka Abdul Hadi Djamal. “Menurut saksi, uang itu dibawa ke Johnny Allen. Maka ia harus dihadirkan untuk mengetahui ke mana larinya Rp1 miliar itu,” kata Teguh dalam persidangan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Selatan, Senin siang (15/9). Dalam sidang perkara suap pembangunan dermaga di wilayah Indonesia Timur dengan terdakwa Darmawati Dareho kemarin, menghadirkan empat orang saksi.

Saksi pertama adalah sopir pribadi Darmawati bernama Darwis. Darwis mengendarai mobil Honda Jazz warna silver dengan dua penumpang yakni Darmawati dan Abdul Hadi Djamal. “Saat KPK menggeledah mobil, mereka membuka tas cokelat punya ibu yang berisi uang dollar,” kata Darwis. Kesaksian Darwis tersebut menguatkan dugaan transaksi suap senilai US$90.000 dan Rp54,5 juta kepada anggota Panitia Anggaran DPR dari Fraksi PAN, Abdul Hadi Djamal.

Sebelum aksi pengejaran, terjadi pertemuan di rumah makan Riung Sari di kawasan H Djuanda antara Darmawati, Abdul Hadi dengan tiga orang yang salah satunya diakui sebagai Hontjo Kurniawan. Rekanan yang diduga menyuap Abdul Hadi Djamal tersebut sudah dinyatakan sebagai terdakwa dalam sidang terpisah dengan kasus yang sama.

Selanjutnya, Andi Muhammad Jayasman dan Abdul Hanan memberikan kesaksian yang sama perihal pengiriman uang senilai Rp 1 miliar dari Abdul Hadi Djamal kepada Johnny Allen. Jayasman mengakui dimintai tolong Abdul Hadi untuk mengantar asisten pribadinya, Abdul Hanan membawakan titipan dalam tas kepada ajudan Johnny Allen yang bernama Resco. “Saya tahu tas itu berisi duit dari Abdul Hadi Djamal,” kata Abdul Hanan.

Saksi terakhir penyelidik KPK, Iman Santoso menyatakan telah memonitor dan merekam pembicaraan telepon antara Darmawati dan Abdul Hadi. Dari rekaman pembicaraan yang dimonitor sejak 2 Februari diketahui keduanya merencanakan pertemuan. Tanggal 27 Februari 2009, Darmawati menyebutkan bahwa sudah ada Rp3 miliar dari Rp7 miliar.

Darmawati Dareho tidak memberikan bantahan. Ia akan mengajukan saksi yang meringankan dalam persidangan minggu depan. Jaksa Penuntut Umum (JPU), Suwardji, mengaku baru mengetahui fakta mengenai dana Rp7 miliar.

“Kurang tahu, tapi kesepakatan Rp 3 miliar selama tiga kali memang ada realisasinya. Darmawati juga pernah menghubungi Abdul Hadi Djamal dan menyebutkan jika dananya sudah siap,” kata Suwardji. (JN)

Minggu, Juni 14, 2009

Aulia Pohan Bantah Dapat Perlakuan Khusus SBY

Menurutnya, semua keputusan yang ia buat merupakan tanggungjawab dirinya sendiri.


Aulia Tantowi Pohan membantah menerima perlakuan khusus saat menghadapi kasus aliran dana Bank Indonesia. Khususnya perlakuan khusus dari besannya, Susilo Bambang Yudhoyono yang juga adalah Presiden.

"Saya tidak mendapat perlakuan khusus baik dari Presiden," kata Aulia saat membacakan pledoi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Jumat 12 Juni 2009.

Sebelumnya, Jaksa Rudi Margono menyatakan empat terdakwa kasus aliran dana Bank Indonesia dituntut selama empat tahun penjara. Aulia Pohan, Bun Bunan Hutapea, Aslim Tadjudin, dan Maman Soemantri juga harus membayar denda Rp 300 juta subsider enam bulan penjara.

Aulia Pohan cs dinilai harus ikut bertanggung jawab atas keluarnya dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia sebesar Rp 100 miliar. Dana itu kemudian mengalir untuk kepentingan penyelesaian perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dan revisi UU Bank Indonesia.

Menurutnya, semua keputusan yang ia buat merupakan tanggungjawab dirinya sendiri. "Saya memisahkan urusan pribadi dan pekerjaan," jelas dia.

Aulia Pohan cs dinilai harus ikut bertanggung jawab atas keluarnya dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia sebesar Rp 100 miliar. Dana itu kemudian mengalir untuk kepentingan penyelesaian perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dan revisi UU Bank Indonesia. Aulia Pohan dinilai melanggar ketentuan dalam Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) kesatu KUHP.

Menurut Jaksa, persetujuan pengucuran dana YPPI sebesar Rp 100 miliar itu terjadi dalam Rapat Dewan Gubernur pada 2 Juni dan 22 Juli 2003.

"Fakta hukum telah ada niat untuk menggunakan dana milik YPPI sebagaimana putusan RDG 2 Juni dan 22 Juli dengan alasan untuk mengganti biaya operasional pengurusan masalah hukum senilai Rp 68,5 miliar," jelas jaksa. Selain itu, rapat memutuskan untuk menggunakan dana untuk menyelesaikan penyelesaian BLBI secara politis serta diseminasi kepada anggota dewan senilai Rp 31,5 miliar.

Jaksa menjelaskan, berdasarkan hasil rapat 22 Juli, atas persetujuan Aulia Pohan, Rusli Simanjuntak kemudian melakukan pertemuan dengan anggota DPR. Dalam pertemuan itu disepakati dana untuk menyelesaikan masalah politis BLBI sebesar Rp 25 miliar. Dan untuk diseminasi UU BI sebesar Rp 15 miliar.

"Disposisi terdakwa satu dan dua menyetujui permohonan bantuan dana kepada para mantan. Sehingga berjumlah Rp 68,5 miliar. tanpa ada pertanggungjawabannya," jelasnya. (VN)