Minggu, Mei 10, 2009

Janda Pahlawan Revolusi, Marieke Pandjaitan Berpulang

Marieke Pandjaitan, istri pahlawan revolusi DI Pandjaitan tutup usia dalam usia 83 tahun.


Marieke Pandjaitan meninggal dengan tenang ketika menghabiskan waktu di luar kota. "Ibu meninggal ketika sedang ke Sukabumi," ujar putra keempat almarhumah Hotmangaradja.

Marieke Pandjaitan lahir di Porsea, Sumatra Utara dengan nama Marieke Tambunan. Ia menikah dengan DI Pandjaitan di saat revolusi bersenjata di tahun 1946.

Almarhumah ditinggalkan oleh Brigjen (Purn) DI Pandjaitan ketika berusia 36 tahun. Ia pun lalu mendidik sendiri enam orang anak hasil pernikahannya. Hingga kini almarhumah meninggalkan 5 orang anak dan enam cucu.

Hotmangaradja menyatakan sepeninggal ayahnya dalam tragedi G 30 S/PKI ibunya berkonsentrasi pada pendidikan putra-putrinya. Ia mengaku mengagumi ibunya dalam mendidik saudara-saudaranya. "Empat saudara saya didorong terus untuk melanjutkan studi di luar negeri," ungkapnya.

Jenazah almarhumah sempat disemayamkan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta sebelum dibawa ke rumah duka di Jalan Hasanudin No 53 Kebayoran Lama Jakarta. Hingga sore hari, keluarga besar belum menentukan tempat pemakaman bagi Almarhum.

DI Pandjaitan sendiri merupakan salah satu pahlawan revolusi yang diculik oleh PKI pada saat G 30/ S PKI tahun 1965. Ia diculik di rumahnya dan di bawa ke Lubang Buaya Jakarta.

Sumber: depdagri.go.id

Sabtu, Mei 09, 2009

Kongres Golput Diteruskan di Jakarta


Persaudaraan Golput (golongan putih) akan melanjutkan kongres di Jakarta meskipun kongres di Yogyakarta dibubarkan polisi dan tokohnya Sri Bintang Pamungkas ditahan sementara Jumat sore (8/5).

"Kami akan melanjutkan kongres di Jakarta, sekitar pekan depan dengan lebih terang-terangan," kata Sri Bintang Pamungkas, tokoh Persaudaraan Golput dalam pernyataan pers yang disampaikan di Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta (LBHY).

Menurut dia, persaudaraan golput tidak akan terpengaruh oleh penangkapan dirinya saat mengadakan kongres di Yogyakarta.

Setelah sempat ditahan untuk dimintai keterangan oleh Poltabes Yogyakarta selama kurang lebih 4,5 jam, Sri Bintang kemudian dilepaskan.

Ia disodori empat pertanyaan, antara lain maksud pemilu alternatif dan Indonesia baru, namun Sri Bintang menegaskan tidak bersedia menjawab kedua pertanyaan itu.

"Malam itu juga (Jumat malam), kami tetap melanjutkan kongres dalam suasana informal di hotel lain yang berada di depan hotel lama, dan pagi tadi sekitar pukul tujuh, polisi kembali mencoba menghentikan kongres," ujarnya.

Sri Bintang mengecam tindakan yang dilakukan oleh polisi saat menghentikan kongres dan membawanya ke kepolisian untuk dimintai keterangan. Sri Bintang juga menyatakan, polisi telah menggeledah kamar para peserta kongres.

Ia menyatakan Persaudaraan Golput terbentuk sejak 2003 atau menjelang pemilihan umum (pemilu) 2004 karena khawatir pemilu tidak dapat dilaksanakan secara benar.

Sementara itu, Direktur LBHY Irsyad Thamrin menyatakan akan membawa insiden penahanan Sri Bintang Pamungkas tersebut ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) karena hak mengeluarkan pendapat telah dihambat polisi.

"Kami juga akan melayangkan surat protes ke kapolri karena tindakan penahanan itu sama artinya mengenai kebebasan masyarakat mengeluarkan pendapat," katanya. (Ant)

PBHI: Penangkapan Sri Bintang Melanggar HAM

Pembubaran paksa acara Kongres Nasional Persaudaraan Golongan Putih (Golput) se-Indonesia yang berlangsung di Hotel Satya Graha Umbulharjo, Yogyakarta, Jumat (8/5) kemarin, menuai berbagai kecaman. Insiden yang berimbas pada penangkapan sejumlah aktivis dan penyelenggara kegiatan, Sri Bintang Pamungkas, ini dinilai sebagai pelanggaran HAM.

"Yang terjadi di Jogja itu adalah pelanggaran HAM. Penangkapan Sri Bintang Pamungkas itu berlebihan," kata Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Jakarta, Hendrik Sirait, di sela jumpa pers di kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Jakarta.

Sebelumnya, Kongres tersebut dibubarkan karena dinilai tidak memiliki izin dari kepolisian, baik dari Poltabes Yogyakarta maupun Mabes Polri.

Menanggapi hal ini, Hendrik mengatakan, berdasarkan UU No 9 Tahun 1998 tentang Tindakan Mengekpresikan Pendapat menyatakan bahwa kegiatan demonstrasi dan unjuk rasa tidak memerlukan izin. "Dalam undang-undang tersebut menyatakan hanya perlu melakukan pemberitahuan. Itu kalau polisinya bilang harus ada izin, mungkin dia aparat Orde Baru atau tidak tahu undang-undang," tuturnya.

Hal senada disampaikan Aktivis 98, Safiq Alik LH. Menurutnya, pascareformasi kegiatan unjuk rasa hanya perlu melakukan pemberitahuan kepada aparat. "Tidak ada aturan bahwa acara-acara yang berkumpul itu harus izin. Zaman Suharto memang harus izin. Tetapi ketika reformasi, cukup dengan surat pemberitahuan," ujarnya. (kom)