Rabu, Juli 22, 2009

6 Mahasiswa Terdakwa Insiden di DPRDSU Mohon Dibebaskan dari Dakwaan dan Tuntutan Hukum 7 tahun

Penasehat hukum 6 mahasiswa terdakwa insiden di DPRDSU 3 Pebruari 2009 lalu, Supri Handi Hutapea, Sopan Megayanto Simanungkalit, Matatia Januari Sibuea, Maraga Banjarnahor, Dedi Lumbantungkup dan Lintong Adelman Lumbantoruan, memohon agar majelis hakim menyatakan para terdakwa tidak terbukti bersalah dan membebaskan mereka dari hukuman atau setidak-tidaknya melepaskan dari segala dakwaan dan tuntutan hukum serta merehabilitasi harkat martabat dan nama baik terdakwa.

Sebab perbuatan mereka melakukan tindak pidana melanggar pasal 146 ayat 1 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 atau pasal 170 auat 1 atau pasal 335 ayat 1 KUHP sebagaimana dituntut ataupun di dakwakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sama sekali tidak terbukti sesuai fakta-fakta yang terungkap di persidangan.

Permohonan itu disampaikan penasehat hukum para terdakwa dari Tim Advokasi Tragedi Protap (Tatap) Superry Daniel Sitompul SH, Rajendar Singh SH dkk dalam nota pembelaaan (pledoi) mernanggapi tuntutan JPU yang sebelumnya menuntut para terdakwa masing-masing 7 tahun penjara pada sidang lanjutan di Pengadilan Negeri (PN) Medan dipimpin ketua majelis hakim Charis Mardiyanto SH.

Selain pembelaan dari penasehat hukum terdakwa yang diberi judul “Perjuangan Menegakkan Harga Diri & Kehormatan Sebagai Putra Daerah”, para terdakwa (kecuali Sopan Megayanto Simanungkalit) juga menyampaikan pembelaan secara pribadi pada persidangan tersebut. Pada inti pembelaannya, para terdakwa menyatakan dakwakan maupun tuntutan jaksa sama sekali tidak terbukti dan mereka memohon keadilan dari majelis hakim.

Menurut penasehat hukum terdakwa, dari fakta-fakta yang terungkap di persidangan, semua saksi yang dihadirkan JPU sama sekali tidak pernah melihat terdakwa melakukan pembubaran sidang, melakukan pengerusakan ataupun melakukan perbuatan tidak menyenangkan.
Namun keterangan saksi-saksi dalam tuntutan JPU bertolak belakang dengan kesaksian yang dinyatakan dalam persidangan. Akibatnya surat tuntutan yang dibuat hanya berdasarkan keterangan yang diambil dari BAP dan meniadakan fakta-fakta persidangan. Hal itu jelas sangat bertentangan dengan ketentuan KUHAP khususnya pasal 185 ayat 1 yang menyatakan bahwa “keterangan saksi yang sah adalah yang saksi nyatakan di bawah sumpah di depan sidang pengadilan.

Bahwa selain terbukti mereduksi fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan, JPU juga telah memberikan penilaian secara subjektif tanpa didasarkan kepada fakta-fakta secara objektif, hanya bersumber pada opini yang sudah berkembang sedemikian rupa. Tindakan demikian tidak saja dapat menjauhkan dalam upaya mencari kebenaran materil terhadap apa yang didakwakan kepada para terdakwa. Namun yang dikuatirkan akan terbawa ke dalam suatu peradilan sesat.

Penasehat hukum terdakwa juga mengatakan, dakwaan dan atau tuntutan JPU juga tidak didukung fakta-fakta hukum yang mempunyai nilai pembuktian yang sah. Pihaknya sangat keberatan dengan barang bukti yang digunakan JPU mengingat hasil photo copy photo asli yang diajukan bersamaan dengan BAP sama sekali tidak menunjukan peran para terdakwa sebagaimana didakwakan dan dituntut JPU. Rekaman photo tersebut juga tidak didukung keterangan saksi yang mengambil gambar tersebut. Dengan demikian ldakwaan dan tuntutan tersebut masih prematur untuk dimajukan dalam persidangan.

Dari pemeriksaan bukti-bukti juga terungkap bahwa beberapa barang bukti yang diajukan ke muka persidangan tidak memiliki nilai pembuktian yang kuat. Termasuk bukti yang diterangkan dalam tuntutan sama sekali tidak pernah diperlihatkan dalam persidangan seperti baju kemeja lengan panjang warna merah hati dan tas kecil. Sehingga penasehat hukum terdakwa menolak bukti yang dicantumkan dalam tuntutan. Jelas JPU telah mengada-ngada mencantumkan bukti yang tidak pernah diperlihatkan dalam persidangan selain photo copy photo tanpa pernah ,menunjukan photo aslinya.

Penasehat hukum terdakwa juga mengungkapkan, sejak awal tahap penangkapan terhadap para terdakwa, telah diperlakukan secara tidak adil yaitu tanpa adanya bukti-bukti permulaan yang cukup. Pada saat penangkapan, para terdakwa sel;alu mengalami penyiksaan yang akhirnya karena penyiksaan tersebut, mereka mengalmi tauma dan ketakutan. Sehingga para terdakwa dengan terpaksa mengakui suatu perbuatan yang tidak pernah dilakukan demi menghindari penyiksaan terhadp dirinya.

Sementara terdakwa Supri Handi Hutapea dalam pembelaannya mengatakan, ia terlahir dari keluar miksin dan sedang menimba ilmu di perguruan tinggi. Namun hingga saat ini ia tidak dapat mengikut perkuliahan karena ditahan karena ikut melakukan aksi damai di DPRDSU.
Ia datang ke kantor DPRDSU hanya untuk menyampaikan aspirasi rakyat Tapanuli dan bukan untuk membubarkan sidang. Ia prihatin kehidupan orang-orang di Tapanuli yang masuk dalam peta daserah termiskin. “Bapak hakim yang mulia, apakah saya salah ikut menyampaikan aspirasi orang-orang yang ada di Tapanuli. Dalam persidangan saya maupun teman-teman saya, banyak keterangan saksi yang tidak benar,” ujarnya.

Terdakwa Matatia Januari Sibuea ia bersumpah kepada Tuhan, kepada agama dan juga kepada orang tua saya bahwa saya tidak ada masuk dalam gedung DPRD, tidak ada melakukan pengerusakan. Ia hanya berada di luar gedung DPRDSU. Ia datang ke DPRDSU hanya untuk menyampaikan aspirasi masyarakat Tapanuli yang mengharapkan menjadi Propinsi Tapanuli Protap untuk kesejahteraan masyarakat Tapanuli.
“Saya mohon ketegasan bapak majelis hakim untuk memberikan keadilan kepada saya. Saya dituntut 7 tahun penjara atas perbuatan yang tidak pernah saya perbuat. Oleh sebab itu saya mohon kepada bapak majelis hakim segera membebaskan saya dari dakwaan dan tuntutan JPU agar keadilan dan kebenaran ditegakan di negara Indonesia yang kita cintai ini”.

Dedi Lumbantungkup mengatakan, tuntutan 7 tahun itu tidak masuk akal dan ia tidak menerimanya karena tidak jelas bukti-bukti yang dituduhkan. Mereka melakukan aksi damai di DPRDSU mendukung serta menyampaikan aspirasi untuk pembentukan Propinsi Tapanuli. Pengadilan adalah tempat persidangan untuk menegakan hukum seadil-adilnya. Tapi mengapa dalam persidangan dihadirkan sebagian saksi-saksi yang tidak benar. Saksi-saksi dengan paksaan dan tuntunan untuk memberikan keterangan yang tidak diketahuinya saksi.

Apakah salah sebagai seorang mahaiswa dan selaku putra daerah, ia ikut mendukung dalam menyampaikan aspirasi. Tidak bisa dipercaya seorang mahasiswa dituntut 7 tahun hanya dengan menyampaikan aspirasi.

“Bapak hakim yang mulia, dimanakah hati nurani itu kami temukan. Apakah memang tidak ada lagi di negeri kita tercinta ini. Kami berharap di pengadilan ini masih ada hati nurani. Kami masih dalam perkuliahan dan ingin membantu orang tua,” ujarnya.

Maraga Banjarnahor dalam pembelaannya yang diberi judul “mahaiswa trauma” mengatakan, ia mahasiswa tahap akhir dan seharusnya pada bulan Oktober ini sudah menyelesaikan perkuliahan dan diwisuda. Tapi sejak tanggal 7 Pebruari 2009, ia ditahan hingga sekarang. Ia terkejut dengan tuntutan 7 tahun dan hingga saat ini masih trauma.
Ia tidak ada membubarkan sidang ataupun melakukan pengerusakan. Tujuannya ke DPRDSU untuk pembentukan Protap bukan untuk membubarkan sidang. Ia tidak mengetahui ada sidang pada saat itu dan ia memang tidak pernah melihat anggota dewan sidang pada tanggal 3 Pebruari 2009. “Bapak hakim yang mulia, saya mohon agar bapak hakim dalam memutus perkara ini supaya teliti, jeli dan menegakkan keadilan yang seadil-adilnya karena bapak hakimlah wakil Tuhan di dunia ini yang bisa memutuskan perkara dengan adil dan sebenarnya sesuai hukum yang berlaku’, katanya

Sementara Lintong Adelman Lumbantoruan, ia sebagai simpatisan ikut aksi damai mendukung Protap agar rakyat Tapanuli mendapat kesejahteraan. “Apakah saya salah bersama teman-teman mahasiswa untuk mendukung Protap,” katanya.
Ia mengaku prihatin dengan keterangan saksi yang mengatakan ia memakai jaket almamater, padahal ia tidk ada memakai baju almamater. Ia masuk ke gedung DPRDSU sudah pukul 12.30 WIB lewat dari pintu depan dalam keadaan pintu sudah terbuka dan tidak mengetahui atau melihat sidang di dalam.

“Dengan keredahan hati, saya memohon keadilan kepada majelis hakim. Apabila saya dihukum walaupun sebenarnya saya tidak tahu masuk ke gedung dewan itu adalah melanggar hukum, saya mohon kepada majelis agar menghukum seringan-ringan demi masa depan dan cita-cita saya,” ujarnya.

Atas pembelaaan penasehat hukum maupun dari terdakwa, JPU menyatakan tetap pada tuntutannya. Penasehat hukum dan para terdakwa juga menyatakan tetap pada pembelaannya Untuk pembacaan putusan majelis, sidang diundur Kamis (23/7)
(sib)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar