Minggu, Juli 19, 2009

Sebut Drakula Dalam Pidato, SBY Diminta Klarifikasi


Dalam jumpa persnya menanggapi bom JW Marriott dan Ritz Carlton, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyebut-nyebut drakula yang menghilangkan orang lain. Tim Mega-Prabowo meminta SBY untuk mengklarifikasi maksud dari ucapan SBY tersebut.

"Kita meminta klarifikasi kalau memang ini menimbulkan efek yang luas, harus dipertanggungjawabkan," kata Koordinator Tim Advokasi dan Hukum Timkamnas Mega-Prabowo, Gayus Lumbuun, dalam konferensi pers di Kantor DPP Golkar, Jl Anggrek Neli Murni, Jakarta Barat, Sabtu (18/7/2009).

Gayus mengatakan, adanya istilah 'drakula penyebar maut' dalam pernyataan SBY, merupakan bagian yang sulit diterima oleh pasangan lain. "Bahasa-bahasa seperti itu membuat masyarakat menjadi bingung dan beringas," tuturnya.

Sementara itu, salah satu anggota tim advokasi Mega-Prabowo, Arteria Dahlan, sangat menyayangkan pidato SBY tersebut. Menurutnya, untuk kesekian kalinya presiden telah keliru dalam memposisikan dirinya.

"Materi pidato kenegaraannya 60 persen terkait pemilu, 30 persen yang terkait insiden adalah hal-hal tanpa dasar, provokatif, dan di luar konteks," paparnya.

"Presiden SBY telah berusaha melakukan upaya penggiringan opini publik bahwa situasi politik sedang tidak harmonis," tandas dia.

Minggu, Juli 12, 2009

Sikap JK-Wiranto Terhadap Hasil Pilpres Tergantung 4 Hal

Tim Sukses JK-Wiranto memberi catatan khusus atas pelaksanaan Pilpres 8 Juli lalu.

Catatan tersebut nantinya akan ditindaklanjuti untuk kemudian menjadi pertimbangan tim dalam menyetujui atau menolak hasil Pilpres yang akan ditetapkan KPU 27 Juli mendatang.

“Ada 4 hal yang akan menentukan sikap kami pada tanggal 27. Apakah kita akan tanda tangan atau tidak tingkat KPU,” kata Wakil Ketua Tim Sukses JK-Wiranto, Syamsul Muarif dalam jumpa pers usai rapat evaluasi Pilpres di Posko Slipi II, Jl Ki Mangun Sarkoro, Jakpus.

Syamsul memaparkan, 4 hal yang menjadi catatan adalah:
  1. kisruh Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan Nomor Induk Kependudukan (NIK),
  2. dugaan pelanggaran dan kecurangan saat pelaksanaan Pilpres,
  3. dugaan kecurangan pengisian formulir C1 sebelum pemilihan, dan
  4. dugaan kecurangan sistematis di kantong-kantong suara JK-Wiranto.
Tim, lanjut Syamsul tidak akan segan-segan untuk menolak hasil KPU jika temuan di lapangan oleh pihaknya berkata lain.
“Kalau jumlahnya berbeda siginifikan maka kita kita akan menghabisi KPU,” kata Syamsul soal dugaan kecurangan sistematis di kantong-kantong suara JK-Wiranto.

Anggota Tim Sukses JK-Wiranto, Iskandar Manji memberi contoh adanya gerakan sistematis untuk menghambat dukungan JK-Wiranto di sebuah daerah basis orang Makassar di Tanjung Priok, Jakarta Utara.

“Tidak ada satu TPS pun yang dimenangkan JK, padahal di Tanjung Priuk basis orang Makassar mereka mengaku memilih JK, tapi bukan JK yang menang,” ujarnya.

Sabtu, Juli 11, 2009

Waspadai Serangan Balik Koruptor

Dewan Integritas Bangsa mengajak masyarakat Indonesia untuk mewaspadai serangan balik koruptor melalui berbagai cara untuk membatasi kewenangan lembaga pemberantasan korupsi (KPK).

Koordinator tim delapan Dewan Integritas Bangsa, Lieus Sungkharisma, di Kantor KPK di Jakarta, Selasa, mengatakan, dinamika yang berkembang akhir-akhir ini ada upaya dari para koruptor untuk membatasi kewenangan KPK. Kendati tidak menyebutkan dengan jelas pihak-pihak yang akan melakukan serangan balik tersebut, Lieus yakin, bahwa setelah bertemu dengan pimpinan KPK upaya tersebut kini telah semakin jelas terlihat. "Wartawan dan masyarakat sudah tahu sendiri," katanya.
Dia mengatakan, ada pihak-pihak tertentu yang tidak dapat menerima KPK memiliki kewenangan luas untuk menyeret para koruptor ke meja hijau. "Karena sampai saat ini tidak satu pun koruptor yang ditangani KPK lolos dari jeratan hukum," katanya seperti dikutip Antara.
Menurut dia, lahirnya KPK adalah satu simbol pencapaian reformasi, bukan saja upaya peningkatan terhadap praktik-praktik korupsi, KPK juga telah memberi efek jera terhadap pelaku korupsi.
Dengan terjaganya KPK dalam menjalankan tugas memberantas korupsi, bangsa Indonesia masih memiliki harapan, bahwa suatu saat nanti posisi jabatan publik adalah dalam rangka melayani rakyat, bukan untuk membodohi apalagi merampok hak-hak rakyat.
"Mengerdilkan dan menggembosi kewenangan KPK adalah sama dengan dengan membunuh Demokrasi Konstitusional," kata Dewi Motik Pramono.
Dia juga mengajak seluruh komponen bangsa mendukung KPK dalam menjalankan tugas pemberantasan korupsi. Karena itu dia mendesak seluruh pimpinan untuk memberikan jaminan dan keyakinan bahwa korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa dan dapat dihapuskan. "Kami juga meminta pemimpin bangsa ini dapat menjamin KPK mengawal bangsa Indonesia menjadi bangsa yang berintegrasi dan bermartabat," kata dia.
Sementara itu, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mendesak DPR RI agar mensahkan RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebelum masa jabatan anggota Dewan periode 2004-2009 selesai.
"Jika RUU Tipikor itu belum juga rampung, dikhawatirkan tindak pidana korupsi di Indonesia makin sulit untuk dijerat," kata Koordinator LSM Dewan Perubahan Nasional/Kontras, Oslan Purba di Jakarta, Selasa. Dia berharap, RUU Tipikor diselesaikan sekarang dengan tidak mengebiri kewenangan KPK, dan tetap ada hakim ad hoc.
Sebelumnya, Ketua Tim Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Marwan Batubara, juga mendesak RUU Pengadilan Tipikor itu diselesaikan.
"Kami sudah berkunjung ke KPK untuk memberikan apresiasi dan mendesak DPR segera menyelesaikan dan mengesahkan RUU Pengadilan Tipikor," ujar Marwan Batubara.
Dia menjelaskan, DPD telah mengirim surat kepada DPR agar segera menyelesaikan pembahasan RUU Pengadilan Tipikor. Tujuannya supaya KPK semakin kuat sebagai pemberantas korupsi. Marwan mengingatkan tentang keputusan MK yang menetapkan tenggat waktu pembentukan Pengadilan Tipikor paling lambat 19 Desember 2009.

Selasa, Juli 07, 2009

Ketua LPSH Sumbagut, SP Sitompul SH. Fakta Sidang Demo Protap Menguat, Tidak Ternyata Ada Pembunuhan

Mengikuti perkembangan hasil sidang-sidang pemeriksaan atas terdakwa demo Protap, tidak ternyata ada pembunuhan apalagi dengan dakwaan pembunuhan berencana. Dugaan “rekayasa” atas berkas perkara semakin menguat, yang tidak lain dimaksudkan untuk mematahkan usul dan perjuangan pemekaran Provinsi Sumatera Utara oleh elit politik yang tak peduli dengan kepentingan rakyat di wilayah pesisir barat yang miskin dan tertinggal.
Ketua LPSH (Lembaga Penegakan Supremasi Hukum) Sumbagut (Sumatera Bagian Utara), SP Sitompul menyampaikan tanggapan dan penjelasan tertulis kepada SIB, Kamis (2/7) atas perkembangan pemeriksaan terhadap para tersangka demo anarkis yang didakwakan terhadap pendemo di gedung DPRD Sumatera Utara, awal Februari 2009 lalu.
Dikemukakan, bahwa dugaan “rekayasa” atas berkas perkara semakin menguat yang tidak lain dimaksudkan untuk mematahkan usul dan perjuangan pemekaran Provinsi Sumatera Utara oleh elit politik yang tidak peduli dengan kepentingan rakyat di wilayah pesisir barat yang miskin dan tertinggal. Oleh karenanya kata advokat/pengacara senior itu Komisi HAM (Hak Azasi Manusia) seyogianya mencermati perkembangan persidangan tersebut dan dimintakan melakukan upaya perlindungan terhadap para terdakwa yang tidak lain adalah pejuang pemekaran yang bertujuan untuk menghapuskan kemiskinan.
Dia mengatakan, apabila para terdakwa berhasil dihukum hanya karena bentuk demo yang cenderung anarkis karena terpancing sikap tidak peduli kalangan DPRD-SU maka ini menjadi sinyal terancamnya demokrasi di negeri tercinta ini. Dan, hukuman terhadap para terdakwa jelas merupakan pembunuhan karakter dan perjuangan rakyat yang sekaligus preseden yang amat buruk bagi institusi demokrasi Indonesia.
Memaparkan isi hati dan pikirannya soal penegakan hukum advokat SP Sitompul SH sangat setuju proses hukum terhadap setiap orang yang diduga telah melakukan pelanggaran hukum. Namun kita harus menentang setiap rekayasa proses hukum terhadap pejuang-pejuang rakyat dalam saluran demokrasi secara formal oleh elit politik di Sumatera Utara. Jika memang sudah tidak perduli terhadap kepentingan rakyat, mereka melakukan manuver tuduhan balik “membunuh” bahkan dituding merencanakan pembunuhan terhadap ketua DPRD-SU.
Menurutnya, hal ini merupakan fitnah terhadap demokrasi dan terhadap rakyat yang diwakili para pendemo pejuang Protap. Dia khawatir dan pesimis, dengan rekayasa seperti itu, kondisi penegakan hukum di Sumatera Utara menjadi lemah dan dapat mempermalukan aparat kepolisian sebagai pejabat penyidik. Lalu, kejaksaan akan menjadi “korban” pelimpahan berkas yang tidak memiliki bukti-bukti yang kuat namun harus menyusun dakwaan sesuai “keinginan” politisi busuk yang memiliki pengaruh dan akses merekayasa terhadap proses penegakan hukum.
Dengan demikian Sitompul menggambarkan sungguh memprihatinkan kita semua, apabila setiap terdakwa yang sudah dikenakan penahanan nantinya akan dihukum penjara, hanya untuk saling menghormati antar sesama aparat penegakan hukum kita. Dan apabila hal seperti ini terulang, maka bayangan hitam akan menyelimuti sistem penegakan hukum kita yang sudah terbangun selama ini.
Meski begitu katanya menambahkan, semangat perjuangan atas pemekaran khususnya pembentukan Provinsi Tapanuli akan semakin marak dan meluas dan tidak akan terhempang oleh politisi busuk. Dilukiskan masyarakat Batak di seluruh penjuru tanah air, kini mengarahkan pandangan tragedi persidangan pengadilan terhadap pejuang Protap sembari memanjatkan doa kepada Tuhan agar diberi kekuatan bagi para pejuang dimaksud, tutup Ketua LPSH Sumbagut itu.

Senin, Juli 06, 2009

RUU Tipikor Ancam Pemberantasan Korupsi

Setidaknya tercatat sekitar 15 poin kelemahan RUU Tipikor.

KOALISI Pemantau Peradilan (KPP) menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang disusun pemerintah dapat mengancam upaya pemberantasan korupsi. Koalisi mencatat sedikitnya 15 poin kelemahan RUU tersebut dalam mendorong pemberantasan korupsi. Poin kelemahan itu menyangkut ancaman pidana, masa daluarsa (hapusnya penuntutan), penghapusan tindak pidana, tidak jelasnya pengadilan Tipikor, kewenangan KPK yang hanya sampai tingkat penyidikan, ancaman pidana bagi pelapor palsu dan tidak diaturnya korupsi oleh advokat.

Selain itu tidak diatur pula pembekuan, pengelolaan aset hasil korupsi, potensi aset korupsi yang dikelola masing-masing institusi, pembatalan kontrak akibat korupsi, penyertaan, percobaan dan permufakatan korupsi maupun penyadapan serta kewajiban pelaporan kekayaan. RUU Tipikor versi pemerintah juga tidak mengoptimalisasikan peran serta masyarakat.

Dari hasil diskusi KPP yang dirilis Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Diansyah, tidak mencantumkan pasal ancaman pidana minimal dapat berpotensi terjadinya vonis percobaan bagi koruptor. Koalisi mempersoalkan tindak pidana yang dapat dihapuskan di bawah Rp25 juta. Apabila pelaku menyesal dan mengembalikan dapat tidak dituntut pidana. Koalisi menilai, semua tindak pidana berapa pun nilainya dapat dipidanakan. Pengembalian kerugian negara tidak menghapuskan pidana.

Dalam RUU itu juga muncul ancaman pidana bagi pelapor palsu. Terlapor berpotensi melaporkan balik pelapor. Sementara koalisi mengusulkan agar perlindungan yang diterima pelapor adalah perlindungan identitas dan keamanan. Mengenai korupsi advokat, koalisi mengusulkan tidak sekadar dijerat dengan kode etik. Korupsi advokat dapat dijerat dengan delik korupsi.

Tidak diaturnya pembekuan aset juga berpotensi terjadinya pengalihan rekening dari pelaku ke pihak ketiga. Koalisi mengusulkan agar penyidik, penuntut dan hakim dapat memerintahkan pemblokiran atau pembekuan terhadap rekening tersangka dan atau pihak lain yang diduga terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi.

Dalam RUU tersebut juga tidak diatur pihak-pihak yang membantu pelaku korupsi (bersama atau mufakat) maupun pihak yang mencoba melakukan korupsi tidak dapat dipidana. Padahal, tindakan penyertaan, percobaan, dan permufakatan korupsi dapat dipidana.

Dalam RUU itu, peran serta masyarakat masih terbatas atau copy paste dengan UU Korupsi yang lama. Seharusnya, masyarakat dapat mengajukan upaya hukum gugatan atau praperadilan dan penghargaan untuk pelapor kasus korupsi.

Wajib

MENTERI Hukum dan HAM (Menkumham) Andi Mattalatta mengatakan, perihal isi RUU Tipikor yang dianggap tidak sesuai tersebut masih bisa diubah. "Kalau masyarakat menganggap tidak adil ya dibuang saja pasal-pasal itu," kata Menkumham, saat ditemui usai acara pemberian sertifikat ISO 9001: 2008 kepada Biro Kepegawaian di gedung Departemen Hukum dan HAM (Depkumham) Kuningan.

Menkumham juga menegaskan jika Pengadilan Tipikor harus tetap dipertahankan. "Jelas-jelas MK itu mengatakan kalau pengadilan Tipikor harus menjadi bagian pengadilan umum. Jadi wajib ada," ujarnya.

Berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), menurut Menkumham, UU Pengadilan Tipikor harus berdiri sendiri dan tidak bisa selamanya menumpang UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia juga tidak setuju dengan pihak-pihak yang menyarankan agar UU Pengadilan Tipikor hanya meneruskan UU pengadilan yang sudah ada selama ini.

Oleh karena itu, Menteri berharap agar Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengadilan Tipikor yang sudah diterima oleh DPR RI sejak Oktober tahun lalu, bisa segera diselesaikan. "Idealnya semua UU yang masuk ke DPR selesai sebelum masa jabatannya berakhir," kata Andi Mattalatta.

Menurutnya, pembahasan dan pengesahan yang kian mandek, memberikan kesan jika DPR tidak serius dalam menangani RUU Tipikor.